Berangkat dari keprihatinan semakin minimnya kandungan C-organik tanah di Indonesia, khususnya Pulau Jawa, Harsono Suharjo mendirikan PT Imam Tatakerta Raharja pada tahun 2010. PT Imam Tatakerta Raharja merupakan mitra produksi dari petrokimia dalam memproduksi pupuk petroganik P-200. Perusahaan yang memproduksi pupuk organik (kompos) curah.
Alumnus ITB tahun 1965 ini juga melihat bahwa permasalahan sampah rumah tangga di kota besar pada umumnya, juga menjadi masalah yang pelik. Maka dipilihlah lokasi TPA Jati Barang, Semarang, sebagai lokasi pendirian pabrik, karena pada saat itu belum ada perusahaan yang mengolah sampah di TPA dengan luas 44 hektar tersebut. Hal ini diceritakan oleh Hari Agus (49) yang dipercaya untuk mengelola perusahaan dengan jumlah karyawan 48 orang itu. “Pak Harsono melihat potensi luar biasa dari tumpukan sampah perkotaan, untuk dijadikan pupuk organik dan RDF (Refused Derified Fuel). RDF merupakan bahan bakar dari sampah yang mudah terbakar, seperti plastik dan sejenisnya,” jelasnya.
Satu tahun kemudian, tepatnya 2011 PT Imam Tatakerta Raharja menjadi Mitra Produksi Petroganik dengan kode produksi P 200, dan dengan kapasitas produksi 3.500 ton per tahun. Sehingga sampai saat ini PT Imam Tatakerta Raharja membuat 3 produk; pupuk organik curah, RDF dan Petroganik.
Untuk pupuk organik curah, per tahunnya mampu memroduksi 6 – 8 ribu ton, sedangkan produksi RDF mencapai 31.500 ton per tahun. Tapi untuk sementara ini produksi RDF dihentikan karena beberapa alasan. “Sebenarnya RDF bisa menjadi bahan bakar alternatif pengganti BBM berbasis fosil. Bahkan ke depannya kami optimis akan bisa menjual listrik dengan menggunakan bahan bakar RDF. Minimal kebutuhan listrik untuk menjalankan pabrik yang kami kelola, jadi bisa berhemat dan menekan biaya produksi,” ungkap Hari.
Ucok Nastain (37) Kepala Produksi PT Imam Tatakerta Raharja mengungkapkan, untuk mengolah sampah kota menjadi pupuk organik dan RDF sebenarnya membutuhkan proses yang tidak begitu rumit. Dimulai dari 350 ton sampah kota per hari yang diangkut dengan truk-truk sampah miilik Dinas Kebersihan dan Pertamanan Pemkot Semarang. Tumpukan sampah tersebut, yang masih berupa campuran sampah organik dan non organik, dikumpulkan dengan menggunakan eksavator dan dimasukkan ke dalam schreader untuk dicacah.
“Pencacahan dengan schreader ini menghasilkan sampah sebesar 15 cm2, yang akan dipilah material plastiknya dengan tenaga manusia. Pemilahan secara manual ini hanya mampu memisahkan plastik sebanyak 3 % saja. Sampah yang sudah dipilah secara manual tersebut dikirim melalui belt conveyor menuju ke truk homogenisasi, dengan kapasitas 9 ton,” jelas Ucok.
Di dalam truk homogenisasi, sampah diaduk dengan rotary dan disemprot dengan dekomposer selama 45 menit, sebelum dikirim ke windrow (zona fermentasi) di area terbuka. Di windrow, sampah tersebut di tutup terpal dan dilakukan aerasi aktif menggunakan blower. Dengan lancarnya sirkulasi udara membuat mikroba lebih cepat aktif. Dengan aktifnya mikroba maka proses fermentasi terjadi, di mana kompos akan mengendap sedangkan plastik naik ke permukaan.
Setelah proses fermentasi di windrow selama 2 bulan, materi tersebut dikirim ke rotary screen untuk memisahkan materi besar dan kecil. Dari hasil pemilahan ini, materi yang kecil dijadikan pupuk organik, sedangkan materi yang besar dibuat RDF. “Dari materi yang akan dijadikan bahan pupuk organik, dipilah lagi di mesin yang disebut dengan spalect, yang mampu memisahkan kompos kasar dan kompos halus. Nah, kompos halus ini lah yang kami jadikan sebagai salah satu bahan baku Petroganik,” jelas Hari Agus.
Untuk mengetahui tinggi-rendahnya kandungan logam berat, dilakukan analisa rutin pada bahan baku pupuk organik, utamanya bahan baku untuk pembuatan Petroganik. Dari hasil analisa, kandungan logam berat bahan baku kompos halus ternyata masih jauh di bawah nilai ambang batas yang dipersyaratkan. “Disamping itu kami juga mencampur dengan blotong, dengan komposisi 20 % kompos halus dari sampah dan 80 % blothong.
Tentang limbah yang berpotensi menimbulkan polusi yang dihasilkan dari proses produksi pengolahan sampah, Ucok Nastain tidak menampiknya. Dia mengatakan bahwa limbah tersebut meliputi gas metan dan limbah cair dari proses fermentasi. “Untuk mereduki gas metan agar bisa mencapai nilai ambang batas yang dipersyaratkan, kita gunakan blower. Sedangkan untuk menangani limbah cair, kami mengolahnya di settling pond sebelum dibuang ke sungai. Dengan demikian tidak ada satupun limbah yang akan mencemari lingkungan,” terangnya.
Dengan pengolahan sampah kota menjadi pupuk organik dan RFD yang dilakukan PT Imam Tatakerta Raharja, terbukti bisa membantu mengatasi permasalahan sampah di kota Semarang. Volume sampah per hari di Semarang tercatat sebanyak 700 – 900 ton per hari, hampir setengah dari jumlah tersebut berhasil diolah dan bermanfaat untuk kehidupan.
Bukan hanya bermanfaat, tapi juga bisa diajadikan sebagai usaha yang menguntungkan. “Kami sudah mempunyai rencana mengembangkan produksi RFD yang akan dijadikan sebagai bahan bakar untuk kebutuhan industri,” jelas Hari Agus. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa bahan bakar RFD mempunyai potensi pasar yang cukup besar, utamanya untuk bahan bakar di industri semen. Sebab dalam 1 kg RDF dengan kadar air 10 – 12 % mempunyai daya bakar antara 5.000 – 7.000 kkal, lebih tinggi dibanding dengan bahan bakar berbasis fosil. Dari sisi harga pun, RDF relatif lebih murah.